Minggu, 19 Desember 2010

Cerpen

Kado Ulang Tahun Dari Mama




Setiap tanggal 7 Juni Mama selalu merayakan ulang tahunku.  Pada ulang tahunku yang ke 12, mama memberiku sebuah kado yang sangat menarik. Sebuah sepeda mini termahal yang pernah dijual di Indonesia.

Aku senang menerima hadiah dari mama.  Bukan saja karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga  karena mama memperbolehkan aku bersepeda ke sekolah.

"Ketika usiamu menginjak 12 tahun engkau boleh bersepeda ke sekolah," kata mama suatu hari.

"Kenapa harus menunggu usia 12 tahun?" aku bertanya dengan kesal.

"Tubuhmu kecil Nita.  Kalau engkau bersepeda pada usia 10 tahun, aku khawatir akan keselamatanmu.  Kendaraan yang begitu padat selalu menghantuiku."

Akhirnya aku memaklumi kekhawatiran mama.

Kini aku boleh bersepeda ke sekolah.  Teman-temanku menyambutku dengan riang.  Mereka senang karena aku mempunyai sepeda baru.

"Aku boleh pinjam ya Nita?" seru Triana sambil mendekatiku.

"Aku juga ya Nita?" kata yang lain.

Aku mengangguk lemah.  Bukan aku tidak mau memberi pinjaman kepada teman.  Aku khawatir mereka tidak bisa bersepeda dengan baik.  Jika jatuh tentu sepedaku lecet, atau ada bagian yang rusak.  Tapi tak mungkin aku menolak keinginannya.

"Tapi hati-hati ya!" seruku mengingatkan.

Triana senang sekali ketika aku mengijinkan dia naik sepeda.  Selama ini dia tidak pernah mempunyai sepeda.  Kalau ingin naik sepeda selalu pinjam teman.  Biasanya teman-teman jarang yang memberi pinjaman.  Alasannya sederhana saja, takut sepedanya rusak.

Aku hanya melihat-lihat Triana bersepeda.  Suatu saat hampir saja ia jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya.  Setelah itu aku tidak memperbolehkannya lagi.  Setelah Triana kini Nunung yang pinjam.  Karena aku sudah berjanji untuk memberikan pinjaman maka kuberikan sepeda kesayanganku.

Nunung lebih mahir bersepeda dari pada Triana, walaupun begitu dia agak ugal-ugalan.  Di tempat yang sempit pun dia berani naik sepeda.  Karena sikapnya yang ugal-ugalan itu maka ia terjatuh.  Aku menjerit tapi Nunung hanya tersenyum saja.

"Wah...pasti aku dimarahi mama," kataku kepada Nunung.

"Ah begitu saja marah.  Mana mungkin mamamu akan marah?  Bukankan kamu anak kesayangan?" kata Nunung tanpa memperdulikan perasaanku.

"Enak saja kamu berbicara.  Di rumah pasti mama memarahiku.  Bisa-bisa aku tidak boleh naik sepeda lagi."

Ketika pulang sekolah hatiku bimbang.  Pikiranku hanya teringat mama.  Kalau aku bercerita terus terang tentu mama akan marah, tapi jika aku berbohong aku merasa berdosa. Kini sayap depan sepedaku terkelupas sedikit.  Mama pasti akan mengetahuinya.  Karena itu aku akan bercerita terus terang.

"Bagaimana Nita enak kan memakai sepeda baru?"

Aku mengangguk.

"Lho, kenapa wajahmu kusam?  Ada apa, sayang?"

Aku secepatnya menjelaskan masalahnya.  Hatiku bimbang.

"Jadi temanmu yang jatuh?"

Aku mengangguk.

"Semahal apapun sepeda tidak lebih baik dari persahabatan," kata mama dengan wajah tenang.

"Maksud mama?"

"Jangan risaukan semua itu.  Mama memang memberimu hadiah ulang tahun, tapi mana mungkin engkau sendiri yang akan naik sepeda?  Bukankah teman-temanmu juga ingin mencobanya?"

Sungguh aku malu kepada Nunung.  Ketika Nunung menjatuhkan sepedaku, aku cemberut dan marah-marah.  Ternyata mama justru sebaliknya.

"Apakah engkau memarahi Nunung?"

"Tentu saja Ma.  Aku sayang sekali dengan sepeda baru itu.  Mama membelinya dengan uang yang sangat banyak."

Mama tertawa mendengar pengakuanku.

"Nita, Nita...sekali lagi mama katakan...jangan engkau tukar persahabatan dengan sebuah sepeda.  Jika engkau tidak mempunyai teman, pasti engkau susah.  Tetapi jika kamu bersepeda dengan sepeda yang rusak sedikit, engkau masih tetap bahagia."

Keesokan harinya, aku buru-buru menemui Nunung.  Aku ingin minta maaf karena aku marah-marah kepadanya.  Tetapi kata Triana, Nunung tidak masuk sekolah karena takut telah merusak sepedaku.  Aku mengajak Triana ke rumah Nunung.  Begitu tahu kedatanganku, Nunung berlari masuk ke rumahnya.

"Nunung, aku datang untuk minta maaf kepadamu.  Mama tidak memarahiku, mama maklum kesalahanmu.  Karena itu aku kemari ingin minta maaf."

Tak berapa lama, Nunung keluar dari kamarnya dan segera memelukku.

"Maafkan aku, Nita.  Aku telah merusak sepeda kesayanganmu!"

"Maafkan aku juga Nung.  Aku terlalu emosi!"

Kami menjadi teman baik kembali.  

Jumat, 17 Desember 2010

Cerpen

KELEDAI PEMBAWA GARAM
Pada suatu hari di musim panas, tampak seekor keledai berjalan di pegunungan. Keledai itu membawa beberapa karung berisi garam dipunggungnya. Karung itu sangat berat, sementara matahari bersinar dengan teriknya. "Aduh panas sekali. Sepertinya aku sudah tidak kuat berjalan lagi," kata keledai. Di depan sana, tampak sebuah sungai. "Ah, ada sungai! Lebih baik aku berhenti sebentar," kata keledai dengan gembira. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam sungai dan….
 Byuur… Keledai itu terpeleset dan tercebur. Ia berusaha untuk berdiri kembali, tetapi tidak berhasil. Lama sekali keledai berusaha untuk berdiri. Anehnya, semakin lama berada di dalam air, ia merasakan beban dipunggungnya semakin ringan. Akhirnya keledai itu bisa berdiri lagi. "Ya ampun, garamnya habis!" kata tuannya dengan marah. "Oh, maaf… garamnya larut di dalam air ya?" kata keledai.
Beberapa hari kemudian, keledai mendapat tugas lagi untuk membawa garam. Seperti biasa, ia harus berjalan melewati pegunungan bersama tuannya. "Tak lama lagi akan ada sungai di depan sana," kata keledai dalam hati. Ketika berjalan menyeberangi sungai, keledai menjatuhkan dirinya dengan sengaja. Byuuur…. Tentu saja garam yang ada dipunggungnya menjadi larut di dalam air. Bebannya menjadi ringan. "Asyik! Jadi ringan!" kata keledai ringan. Namun, mengetahui keledai melakukan hal itu dengan sengaja, tuannya menjadi marah. "Dasar keledai malas!" kata tuannya dengan geram.
 Keesokan harinya, keledai mendapat tugas membawa kapas. Sekali lagi, ia berjalan bersama tuannya melewati pegunungan. Ketika sampai di sungai, lagi-lagi keledai menjatuhkan diri dengan sengaja. Byuuur…. Namun apa yang terjadi ? Muatannya menjadi berat sekali. Rupanya kapas itu menyerap air dan menjadi seberat batu. Mau tidak mau, keledai harus terus berjalan dengan beban yang ada dipunggungnya. Keledai berjalan sempoyongan di bawah terik matahari sambil membawa beban berat dipunggungnya.
Moral : Berpikirlah dahulu sebelum bertindak. Karena tindakan yang salah akan menyebabkan kerugian bagi kita.
                                                      Petani

Sang fajar telah bangun dari tempat persembunyian
Terlihat pohon-pohon menggugurkan daun tua
Burung kecil bernyanyi dengan merdu
Sungai mengalir dengan derasnya

Petani mulai berangkat ke penghidupannya
Dan tidak lupa membawa senjata perang
Mulailah mencangkul satu persatu petak perpetak
Datanglah bunda membawa Sebungkus nasi

Sengatan sinar mentari mulai membakar kulit petani
Mulailah petani bersandar dikrimbunan daun-daun mudah
Tak terasa hari mulai gelap
Pak petani bersama bunda pulang dengan hati berbunga
Semut
Hei semut...!!
Tubuhmu begitu kecil sekecil biji padi
Dengan antena kepala kau mengirimkan pesan melaluinya
Terlihat pasukan hitam yang sedang berkumpul

Berbaris rapi bagaikan tentara-tentara siap perang
Dari pojok timur datanglah seekor ratu
Memimpin pasukanya dengan gagahnya

Siaaaapppp.....!!
Majuuuuuuuuu!

Sepotong kue dibawah jendela cakrawala
Tak luput seorang yang berkaki tiga melihat kekompakan pasukan gerilya
Dihempaskan sehelai kain ke tubuh mungil tersebut

Korban berjatuhan jasad-jasad bergeletakan
Sang ratu memanggil pasukanya kembali 
Hanyalah ada tangis penderitaan

 Cinta yang Rumit
Cinta.....??
Apa itu cinta...?
Aku tak pernah mengerti arti sebuah cinta...
Cinta hanyalah sakit hati..

Kenapa cinta begitu rumit ?
Di saat hatiku menutup rapat-rapat untuk dia
Dia kembali untuk ku
Tapi di saat aku membuka perlahan hatiku
Dia pergi  meninggalkan aku
Hancur hati ku karena dia

Apa salahku dia selalu menyakitiku
Aku mencintai dia dengan setulus hati ku
Dia tak mengerti sebuah kesetiaanku
Dialah yang aku cinta
Dialah yang selalu kubanggakan
Tapi apa daya dia hanya menyakiti perasaanku
Kenapa cinta ku selalu dibuat rumit